Guru Besar Untad Prof Aminudin Nilai Begitu Banyak Masalah di Pemilu

PaluHarianpos,- Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad) Prof. Dr. Aminuddin Kasim,.SH,.MH menilai begitu banyak masalah dan dinamika yang terjadi pada Sistem Pemilihan Umum (Pemilu).

Hal itu ia sampaikan pada Seminar Nasional Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Fakultas Hukum Untad dengan Tema “Dinamika Sistem Penyelenggaraan Negara dan Pemilihan Umum Pasca Perubahan UUD 1945” diruang Video Conference (Vicon) Fakultas Hukum Untad Palu. Jum’at, (08/09/2023).

Bacaan Lainnya

Seminar Nasional itu dihadiri langsung oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dr. Wahiduddin Adams,. SH.MA, Anggota DPR RI Dr. Sarifuddin Sudding,. SH.MH, Dekan Fakultas Hukum Untad Prof. Dr. Sulbadana,. SH.MH, dan Bawaslu Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah.

Dalam kesempatan itu, Prof Aminuddin menyinggung soal penambahan jumlah ambang batas Parliamentary Threshold yang sebelumnya 2,5% menjadi 4% dengan alasan stabilitas Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai.

“Dinamika sistem pemilu parliamentary threshold dari 2,5% menjadi 4% katanya untuk memperkuat presidensial, tapi saya tidak yakin dengan mekanisme parlementer treshold bisa menyederhanakan presidensial dan multipartai, tapi kalau mau lebih memperkuat sekalian 10% jangan hanya 4% supaya kita kembali seperti dulu hanya ada PPP, PDI dan Golkar” Ucap Prof Aminuddin dalam penyampaian materinya.

Selanjutnya ia menerangkan, dinamika yang juga saat ini terjadi pada Sistem Pemilihan Umum yaitu terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye di Perguruan Tinggi.

“Dinamika selanjutnya, ada putusan mahkamah konstitusi terkait kampanye di perguruan tinggi sepanjang hal itu diminta, tapi yang jadi pertanyaan adalah bagaimana mekanisme kampanye di perguruan tinggi nanti itu menjadi tugas KPU nanti menerjemahkan kembali putusan MK ini” lanjut prof aminuddin.

Tak hanya itu, prof aminuddin juga secara terang mengatakan tidak setuju dengan pemberlakuan Presidential Threshold dan merupakan sumber masalah di Republik ini.

“Bicara soal presidensial treshold ada pasal 222 saya sebagai seorang akademisi tidak setuju dengan pasal ini karena tidak ada satu diksi yang menyebutkan 1% atau 20% kalau kita mengacu pada pikirannya maria fanida yaitu asas lex superiori derogat legi generali, maknanya tidak bisa makna norma setingkat undang-undang merubah makna norma undang-undang dasar, yang bertanggung jawab soal ini hakim konstitusi harus 0%”, jelasnya.

Lebih lanjut, prof aminuddin membandingkan sistem Pemilihan Umum di Republik Indonesia dan Negara-negara demokrasi lainnya

“Kita berkaca pada negara demokrasinya sangat maju, ada negara peru pada pemilu 2016 ada 8 Paslon, Brazil pemilu 2014 terdapat 13 Paslon, Meksiko pemilu 2018 ada 4 Paslon, Kyrgyztan ada 13 Paslon dan masih ada 49 Negara yang tidak menggunakan ambang batas pencalonan presiden tapi kenapa Mahkamah Konstitusi kita ini tidak membatalkan pasal 222”. Tutup Prof Aminuddin. *

Pos terkait