Palu, Harianpos– Hadirnya berbagai platform digital telah memberi kemudahan bagi warga untuk terlibat dan berpartisipasi dalam mendokumentasikan dan menyuarakan perubahan sosial. Jurnalisme warga, baik berupa konten di blog, petisi, siniar, media sosial, dan platform lainnya tak bisa dipungkiri telah berperan menyuarakan kritik sosial dan berbagai isu penting dari berbagai daerah di Indonesia.
Di satu sisi, partisipasi warga berperan penting dalam proses demokrasi dan keterbukaan informasi. Namun di sisi lain, kurangnya literasi serta minimnya praktik verifikasi dan validasi menjadi tantangan tersendiri dalam konten-konten jurnalisme warga.
Menanggapi tantangan ini, WeSpeakUp.org — sebuah organisasi yang berfokus pada penguatan ruang sipil, terutama bagi kelompok yang dipinggirkan seperti masyarakat adat, orang muda, dan kelompok perempuan — menyelenggarakan program Muda Bersua(ra) di Sulawesi. Acara ini berlangsung selama lima hari, mulai 7–11 Mei 2025, dengan rangkaian pelatihan kampanye sosial dan seni bercerita (storytelling) bagi penggerak muda lintas isu dari berbagai daerah di Sulawesi.
Program ini dibuka dengan pelatihan residensial selama empat hari (7–10 Mei 2025), diikuti oleh 22 penggerak muda terpilih dari berbagai wilayah di Sulawesi. Puncaknya adalah kegiatan Coaching Clinic yang digelar pada 11 Mei 2025 dan terbuka untuk publik, khususnya warga muda di Kota Palu.
Coaching Clinic Muda Bersua(ra) di Palu ini diselenggarakan atas kerja sama dengan Pulitzer Center, dan akan diikuti oleh sekitar 100 orang muda, perwakilan pelajar dan mahasiswa. Dalam kegiatan ini, peserta akan belajar bagaimana mengubah gagasan perubahan menjadi narasi kampanye yang efektif melalui pendekatan storytelling.
Selain Dhenok Pratiwi, Direktur Kampanye WeSpeakUp.org yang juga akan memandu praktik pembuatan narasi perubahan, acara ini turut menghadirkan dua jurnalis penerima hibah Pulitzer Center: Titah AW dan Ahmad Arif.
Titah AW dikenal rutin menulis tentang suara-suara pinggiran dan mempublikasikannya di media seperti VICE, National Geographic, Project Multatuli, dan The Jakarta Post. Ia juga menulis buku Parade Hantu Siang Bolong, yang berisi kisah-kisah magis dari berbagai pelosok Indonesia. Buku itu bukan sekadar mengangkat mitos, tetapi juga perlawanan terhadap lupa suara dari desa-desa yang perlu ditulis kembali agar tidak dilupakan.

Sedangkan Ahmad Arif telah lebih dari dua dekade menjadi jurnalis di Kompas. Saat pandemi COVID-19 melanda, ia dan timnya membentuk LaporCovid, platform warga yang mencatat angka dan cerita penting seputar pandemi. Karya-karyanya menjadi rujukan WHO, bahan riset global, serta pengingat bahwa angka bukan sekadar statistik, melainkan nyawa manusia. Kini, sebagai anggota dewan AJI Indonesia, Arif terus memperjuangkan jurnalisme yang tak tunduk pada kekuasaan.
Dhenok Pratiwi juga akan berbagi pengalaman dalam membuat narasi kampanye populer, baik selama menjadi jurnalis maupun saat bekerja di platform petisi online terbesar di dunia.
“Kami merasa terhormat sekali mendapat kepercayaan dari orang muda di Sulawesi untuk menyediakan ruang ini, ruang untuk memulai percakapan dan menceritakan kisah mereka dengan cara yang otentik,” ujarnya, Jumat (09/05/2025) di Palu.
“Acara ini bukan hanya tentang membuat tulisan yang sempurna, tetapi tentang berbagi pengalaman nyata yang bisa menginspirasi perubahan,” lanjut Dhenok.
Ia juga menyebutkan bahwa antusiasme sangat tinggi, terbukti dari pendaftaran yang langsung terisi penuh. Ini menunjukkan betapa besarnya minat orang muda Sulawesi untuk memimpin percakapan soal keadilan sosial dan lingkungan di Indonesia Timur.
Selain di Sulawesi Tengah, program Muda Bersua(ra) juga akan diadakan di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua Barat.*