Parigi, Harianpos – Komisi II DPRD kabupaten Parigi Moutong (Parimo) melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) pada Senin (10/02/2025) membahas polemik terbitnya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) milik tiga koperasi di desa Buranga, kecamatan Ampibabo.
RDP dipimpin Ketua Komisi II Ahmad Arifin Dg Mabela menghadirkan Dinas Koperasi dan UKM (DisKopUKM), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Parimo beserta Kumdang Setda.
Dalam hearing ini terkuak bahwa kedua OPD baik DisKopUKM maupun DPMPTSP sama mengaku tak mengetahui perihal terbitnya tiga IPR tersebut.
Hal itu diterungkap bermula saat Wakil Ketua Komisi II, Mohammad Fadli mempertanyakan tentang bagaimana alur proses pengurusan hingga bisa terbit IPR di wilayah pertambangan yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Parimo tahun 2020-2040.
” Dalam pasal 31 ayat 1 Perda RTRW kabupaten Parimo tahun 2020-2040, tidak memuat Kecamatan Ampibabo sebagai wilayah usaha pertambangan. Kemudian, dalam pasal 31 ayat 3 yang mengatur cakupan wilayah pertambangan dalam RTRW ini seluas 13.992 hektare, juga tidak memuat Kecamatan Ampibabo. Sementara, telah diterbitkan tiga IPR di Desa Buranga, ” kata Muhammad Fadli.
Penegasan yang sama disampaikan anggota Komisi II, Leli Pariani. Ia menyoroti lolosnya IPR milik 3 Koperasi di Buranga dinilai kontra regulasi dengan Perda.
Tak hanya RTRW, IPR ini juga disebut bertentangan dengan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang didalamnya mengakomodir wilayah Buranga, kecamatan Ampibabo.
“Saya tidak mau berpanjang lebar, kalau tidak bisa apa boleh buat. Jika Perda dilanggar, maka tidak bisa. Kita bicara aturan. Sudah jelas-jelas Kecamatan Ampibabo tidak ada dalam Perda RTRW sebagai kawasan pertambangan,” tegasnya.
Sekaitan dengan itu, kepala DisKopUKM, Sofiana mengaku tidak tahu menahu tentang penerbitan IPR. Sebab, pihaknya tidak memiliki kewenangan mengurusi perizinan pertambangan yang notabene menjadi gawean Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi.
Menurut dia, tugas dan fungsi DisKopUKM hanya dalam ranah membantu pendirian Koperasi berdasarkan usulan dari masayarakat di desa Buranga. Ini guna memastikan akta pendiriannya telah sesuai prosedur yang memenuhi persyaratan.
Sebagai pimpinan DisKopUKM, ia mengaku baru mengetahui ada 3 Koperasi yang pengurusan IPR-nya sedang berproses di Pemprov pada saat pihaknya diundang hadir rapat bersama Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi pada 10 Desember 2024 lalu.
” Kami juga kaget, mendapatkan informasi terkait berjalannya proses pengurusan IPR tiga koperasi di Buranga. Makanya setelah pulang dari Palu, saya perintahkan kepala bidang untuk verifikasi kembali tiga koperasi tersebut,” tuturnya.
Berselang satu bulan kemudian, tepatnya 8 Januari 2025, DisKopUKM bersama jajaran Pemkab Parimo lainnya kembali diundang oleh Dinas ESDM Provinsi dengan agenda penyerahan dokumen IPR milik ketiga Koperasi di Buranga.
Hal serupa diutarakan oleh Dinas PMPTSP Parimo. Di RDP itu, Plt Sekretaris Dinas PMPTSP Parimo Nurhayati juga mengaku bahwa pihaknya tidak mengetahui terbitnya tiga izin pertambangan rakyat di Buranga, sebab menyakut izin tambang adalah kewenangan Pemprov secara teknis berada pada Dinas PMPTSP Provinsi Sulteng.
Menurut Nurhayati, dokumen PKKPR sebagai syarat keluarnya tiga IPR tersebut di terbitkan secara otomatis lewat Sistem Online Single Submission (OSS), sehingga tidak lagi melalui Dinas PMPTSP kabupaten.
Ia menjelaskan, penerbitan PKKPR lewat sistem di OSS ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko, pasal 181 ayat 1 huruf b.
Dalam PP tersebut, menjelaskan, lokasi usaha dan/atau kegiatan diperlukan untuk diperluas perluasannya usaha yang sudah berjalan dan diletakan tanahnya berbatasan dengan lokasi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dengan tata ruang yang sama.
Meski demikian, PP ini juga mengatur ketentuan, bahwa perizinan berbasis risiko yang terbit dinyatakan batal sebagai akibat dari PKKPR ini, apabila pemohon memberikan data-data tidak benar dan/atau memberikan keterangan palsu.
Selain itu, pemohon tidak melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam PKKPR. Kemudian, terjadi permasalahan atau sengketa hukum, berkaitan dengan status kepemilikan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
“Kegiatan menimbulkan dampak kerawanan sosial, keamanan, kerusakan lingkungan dan/atau gangguan terhadap fungsi objek vital nasional,” tegasnya.
Komisi II DPRD Parimo Ajak OPD Temui Pemprov Bahas Polemik IPR
Menanggapi polemik ini, salah satu anleg Komisi II, Fhatia menyarankan agar pihak Pemkab Parimo terdiri dari beberapa OPD terkait bersama Komisi II DPRD segera mengagendakan bertemu dengan Pemprov Sulteng selaku pihak pemberi izin pertambangan rakyat, agar persoalaan IPR yang bertentangan dengan Perda milik Parimo bisa segera ada penyelesaian.
” Pemda bersama DPRD Parimo untuk duduk bersama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Sebab, polemik IPR di Desa Buranga tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, ” minta Fhatia.
Ia juga mengungkapkan, persoalan penerbitan 3 IPR di desa Buranga, sebelumnya telah dikonsultasikan pihak DPRD Parimo langsung ke Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Jakarta. Hasilnya, dokumen tiga IPR diketahui tidak masuk dalam Aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI), sehingga patut diduga penerbitan perizinan tersebut in prosedural.
“Semestinya Perda RTRW kita harus diubah dulu, baru IPR diterbitkan. Apapun alasannya, kegiatan pertambangan tidak dapat dilanjutkan, karena cacat prosedural,” tegasnya.*