Parigi, Harianpos – Pihak pelaksana pembangunan Gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Parigi Moutong akhirnya mengungkap secara terbuka rentetan hambatan administratif yang mengganggu proses pencairan anggaran proyek tersebut.
Stenly, perwakilan CV Arwana selaku pelaksana, menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kerap mengalami kesulitan memperoleh tanda tangan pencairan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Hal ini ia sampaikan dalam konferensi pers, Sabtu (29/11) di salah satu Cafe di Parigi.
Menurutnya, kendala tersebut sudah terjadi sejak awal proyek dimulai. Setelah kontrak kerja ditandatangani pada 19 Mei 2025, pihaknya justru mengalami kesulitan mencairkan uang muka. Dana tersebut baru cair pada 11 Juli 2025, lebih dari dua bulan kemudian. Padahal ketentuan mengatur bahwa pencairan uang muka bisa dilakukan tujuh hari setelah kontrak ditandatangani.
Meski begitu, agar pekerjaan tidak berhenti, pihaknya terpaksa menggunakan dana pribadi sebesar Rp2 miliar untuk pembiayaan pekerjaan selama dua bulan pertama.
“Kenapa uang muka lambat keluar. Karena saat kami minta tandatangan ke PPK pak Sakti agak susah ditemui. Saya harus mengadu kesiapa? Jadi saya menghadap ke pak Bupati dan Wakil Bupati tujuanya meminta tolong bagaimana ini bisa di TTD karena ini berkaitan hak dan kita kerja bagus-bagus. Akhirnya di tandatangan, ” jelas Stenly dihadapan puluhan awak Media.
Tak Hanya Wabup, Kontraktor Juga Mengadu ke Bupati Karena Hambatan Administrasi Pencairan
Stenly menegaskan, dirinya tidak pernah bermaksud meminta intervensi kepala daerah dalam pencairan anggaran. Ia mengaku tak hanya menemui Wakil Bupati, tetapi juga Bupati murni tujuan mengutarakan hambatan yang dihadapi, terutama terkait sulitnya mendapatkan tanda tangan PPK yang berdampak langsung pada pencairan hak sesuai progres pekerjaan yang telah diselesaikan.
Hambatan serupa terjadi pada pencairan termin II. Saat progres pekerjaan telah mencapai 55 persen dan pihaknya mengajukan pencairan 50 persen, Stenly kembali mengalami kesulitan mendapatkan tanda tangan PPK..
” Karena ini terkait hak kami. Ketika meminta tandatangan PPK susah lagi. Lari kesana kemari. Lambat lagi. Tapi saya tidak kendor. Akhirnya kami menghadap lagi ke Bupati dan Wabup. Tolong pak. Saya minta saya punya hak, akhirnya di tandatangan PPK, ” jelasnya.
Masalah administrasi juga berulang ketika progres fisik mencapai 73 persen. Pihaknya telah mengajukan permohonan pencairan dana termin III sebesar 70 persen, lengkap dengan dokumen yang sudah disetujui konsultan pengawas. Namun, tanda tangan PPK kembali tidak kunjung diperoleh.
“Terpaksa kami menghadap Bupati dan Wakil Bupati lagi. Padahal seluruh berkas sudah mendapat persetujuan konsultan pengawas, artinya bobot pekerjaan dan nilai pencairan sudah sesuai. Tetapi setiap kali kami mengajukan permohonan tanda tangan ke PPK, kami kesulitan menghubungi atau menemui beliau,” beber Stenly.
Selain hambatan administrasi, terdapat sejumlah faktor teknis dan non-teknis yang menyebabkan keterlambatan progres pekerjaan proyek tersebut.
Stenly merinci bahwa persoalan keterlambatan salah satunya dipicu terjadi pemindahan lokasi bangunan sejak awal pengerjaan dimulai. Hal itu berdampak langsung pada perlunya land clearing serta penimbunan lahan. Pekerjaan tambahan tersebut bahkan terpaksa dilakukan dengan biaya mandiri pihak kontraktor karena tidak tercantum dalam RAB, dan memakan waktu hingga dua minggu.
Faktor berikutnya adalah perubahan gambar kerja serta adanya selisih volume pekerjaan, sehingga harus dilakukan review design sebagaimana tertuang dalam surat permohonan bernomor 021/CV.ARAWAN/SPG/V/2025. Menurut Stenly, perubahan desain yang terjadi beberapa kali menjadi salah satu penghambat progress pekerjaan.
Dari sisi non-teknis, keterlambatan juga dipicu oleh tersendatnya mobilisasi material akibat sistem buka tutup jalur pada area kebun kopi yang menjadi akses utama menuju lokasi proyek.
Kendala lain muncul pada pekerjaan pengecoran. Stenly mengungkapkan bahwa proses pengecoran ready mix Fc 25 Mpa tertunda karena kerusakan alat concrete pump milik PT Super Beton. Pengecoran yang dijadwalkan pada 10 Oktober 2025 baru dapat dilaksanakan pada 22 Oktober 2025.
“Ini ada suratnya yang dikirimkan pihak Super Beton kepada kami,” ujar Stenly.
Desain Kaca Fasade Dinilai Berisiko, Keselamatan Jadi Alasan Tunda Pemesanan
Salah satu isu paling krusial yang turut menimbulkan keterlambatan adalah soal pemesanan kaca fasade bangunan. Stenly mengaku pihaknya dengan sengaja menunda pemesanan kaca karena adanya potensi bahaya keselamatan jiwa.
Berdasarkan desain perencana, kaca fasade berukuran 2 x 2 meter, tebal 12 mm, dan berat sekitar 75 kilogram per lembar itu direncanakan dipasang dalam posisi miring, dengan hanya ditopang oleh empat baut pada dudukan (bracket). Hasil pemeriksaan tim teknis di lapangan dilakukan pihaknya menunjukkan adanya risiko pelendutan kaca, pergeseran akibat gravitasi, serta kekuatan bracket yang dinilai tidak maksimal menahan tekanan angin maupun getaran, terutama karena wilayah Parigi Moutong merupakan zona rawan gempa.
Stenly bahkan membeberkan bahwa ketika mempertanyakan risiko tersebut kepada konsultan perencana sejak dua bulan lalu, pihak konsultan sendiri disebut sempat ragu menjawab soal siapa yang akan bertanggung jawab apabila terjadi insiden.
“Dia saja pembuat perencana gambar ragu. Apalagi kami sebagai kontraktor,” tegasnya.
Atas temuan itu, pihak kontraktor mengusulkan alternatif penguatan dengan standar yang lebih aman, yakni menggunakan sistem one way. Usulan tersebut telah disampaikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang kemudian meminta kontraktor membuat versi gambar teknis dari alternatif tersebut untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
“Jawabannya bukan ditolak, tapi dipertimbangkan,” jelas Stenly.
Dalam rapat lanjutan bersama PPK pada Sabtu (29/11/2025), pihak kontraktor kembali menegaskan soal pertanggungjawaban apabila desain kaca bermasalah di kemudian hari. Stenly menyebut, rapat itu berakhir dengan kesepakatan bersama, di mana PPK menyatakan siap memikul tanggung jawab bersama kontraktor.
Dengan dicapainya kesepakatan tersebut, kata Stenly, pihaknya langsung memesan kaca fasade di Surabaya pada hari yang sama. Estimasi pengiriman diperkirakan selama dua minggu, dan setelah material tiba, pemasangan akan segera dilakukan.
PPK Awal Diganti Secara Tiba-tiba
Tak dipungkiri, faktor turut memengaruhi kelancaran proyek adalah terjadinya pergantian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sebelumnya, posisi PPK dipegang oleh Pak Alex yang baru bekerja sekitar satu bulan. Padahal PPK sebelumnya memiliki latar belakang teknis dan secara intens turun langsung ke lokasi untuk melakukan pengecekan pekerjaan. Namun, ia kemudian digantikan oleh Pak Sakti.
Menjawab Ancaman Putus Kontrak, : Progres Aman dan Bila Terlambat Siap Tanggung Denda
Dalam konfres itu, Stanley juga menanggapi pertanyaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terkait ancaman pemutusan kontrak apabila pekerjaan tidak dapat diselesaikan tepat waktu pada 14 Desember 2025.
Menurutnya, pihak pelaksana telah menjalankan proses pekerjaan sesuai ketentuan dan progres yang ada.
“Saya optimis pekerjaan ini dapat diselesaikan. Pada minggu pertama Desember, bangunan sudah selesai. Keterlambatan hanya terjadi pada pengiriman kaca karena baru dipesan hari ini setelah adanya rapat dan kesepakatan pertanggungjawaban bersama,” jelas Stanley.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam rapat pada Sabtu (29/11/2025), PPK sempat melakukan koreksi terkait rencana pelaksanaan Show Cause Meeting (SCM). Namun, Stanley menegaskan bahwa SCM hanya dapat dilakukan apabila PPK terlebih dahulu mengeluarkan surat peringatan (SP) 1, SP 2, dan SP 3 kepada pelaksana.
“Ini tidak dilakukan. Tiba-tiba ingin langsung ke SCM,” ujarnya.
Selain itu, berdasarkan ketentuan, SCM dapat dilaksanakan jika deviasi pekerjaan mencapai lebih dari 10 persen. Sementara progres mereka baru mengalami minus sekitar 7 persen.
“Jadi dalam rapat tadi kami pastikan, apakah ini terkait SCM? PPK bilang tidak, hanya evaluasi. Artinya tidak ada SCM, dan kami tidak mengakui adanya SCM karena itu harus disertai berita acara,” tegas Stanley.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa sekalipun terjadi keterlambatan, mekanisme kontrak masih memberikan ruang untuk perpanjangan waktu disertai denda.
“Dan saya siap membayar denda itu. Tetapi jika kontrak ini diputus, bagaimana nasib bangunan ini? Apalagi dananya bersumber dari pemerintah pusat (DAK), tentu ada konsekuensi bagi daerah,” pungkasnya. *
