Pengamat: Petahana yang Lakukan Mutasi Jabatan Bisa Dibatalkan Pencalonannya

PaluHarianpos– Pengamat pemerintahan Profesor Djohermansyah Djohan menegaskan bahwa kepala daerah petahana yang melakukan mutasi jabatan bisa dibatalkan pencalonannya dalam Pilkada 2024. Menurutnya, tindakan tersebut melanggar aturan yang jelas tertuang dalam perundang-undangan.

“Petahana yang melakukan mutasi jabatan harusnya bisa dibatalkan pencalonannya dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah,” ujarnya dalam pernyataan tertulis di Palu, Jumat (5/10).

Bacaan Lainnya

Djohermansyah merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016 yang berkaitan dengan sengketa Pilkada di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Dalam kasus tersebut, MA mengabulkan sebagian gugatan dari Darwis Moridu dan Hi. Anas Jusuf terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah Kabupaten Boalemo.

Putusan ini memberikan sanksi terhadap kepala daerah yang dianggap telah menyalahgunakan wewenang dengan melakukan mutasi jabatan menjelang pilkada.

“Kepala daerah petahana dalam kasus ini dianggap menyalahgunakan kekuasaan mereka, dan ini seharusnya menjadi preseden untuk kasus-kasus serupa di Pilkada 2024,” kata Guru Besar Universitas Nasional (Unas) itu.

Dalam diskusi yang digelar oleh Forum Kajian Demokrasi Kita (Fokad) bertema “Fenomena Kepala Daerah Petahana Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi”, Djohermansyah kembali menegaskan bahwa netralitas birokrasi sangat penting untuk menjaga demokrasi yang sehat.

Sementara itu, Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Sahran Raden, juga memberikan pandangannya. Ia mengingatkan Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota untuk berhati-hati dalam menangani laporan pelanggaran administrasi terkait Pilkada serentak 2024.

“Bawaslu harus benar-benar berhati-hati dalam mengkaji setiap laporan sesuai dengan norma dan fakta hukum yang ada,” kata Sahran saat dihubungi di Palu, Jumat (4/10/2024).

Pernyataan Sahran muncul setelah dilaporkannya KPU Sulawesi Tengah, KPU Kota Palu, dan KPU Morowali Utara ke Bawaslu masing-masing terkait dugaan pelanggaran administrasi dalam proses penetapan pasangan calon kepala daerah.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa KPU setempat meloloskan pasangan calon petahana yang melakukan mutasi atau penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 71 ayat (2) UU tersebut secara tegas melarang kepala daerah mengganti pejabat dalam enam bulan sebelum penetapan calon, kecuali ada persetujuan tertulis dari menteri.

“Meskipun ada larangan, mekanisme pengecualian melalui persetujuan tertulis dari menteri tetap bisa berlaku,” kata Sahran.

Dengan berbagai pandangan tersebut, semakin jelas bahwa aturan terkait mutasi pejabat oleh petahana menjelang Pilkada harus diterapkan dengan ketat, guna menjaga keadilan dan netralitas dalam proses pemilihan kepala daerah 2024.*

Pos terkait