“Salah satu tanda kemunduran sebuah peradaban adalah ketika menjadikan perempuan sebagai objek seksual, sebaliknya, peradaban yang berkemajuan adalah peradaban yang memberikan ruang terhadap perempuan dalam berbagai sector dan memberikan ruang perlindungan kepada mereka.”
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kec. Sausu Kabupaten Parigi Moutong adalah sebuah tanda kemunduran peradaban di Bumi Parigata. Kasus yang melibatkan 11 orang penjahat seksual terhadap gadis berumur 15 tahun ini adalah perilaku yang keji dan harus dikecam. Secara pribadi sebagai salah satu formatur terpilih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Parigi Moutong priode 2022-2027 di Musyda ke IX dan Muhammadiyah secara organisatoris mengecam dengan keras tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Bumi Parigata ini. Kasus seperti ini mengingatkan kita kembali pada zaman jahilia, ketika perempuan dianggap derajatnya sangat rendah dibanding laki-laki ditandai dengan pembunuhan bayi perempuan dan menggauli satu perempuan oleh banyak lelaki.
Subordinasi gender ini sebenarnya telah tuntas ketika Nabi Muhammad diutus di muka bumi, berbagai dalil yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah setara, yang menjadi pembeda hanyalah tingkat ketaqwaannya.
Ketidak adilan gender atau subordinasi gender diakibatkan oleh konstruksi sosio-cultur yang keliru. Konstruksi sosio-cultur yang keliru akibat pemahaman gender yang keliru akan melanggengkan relasi kuasa atas gender, sehingga pembagian kelas atas gender tetap memposisikan perempuan menjadi sub-ordinat. Dari kasus-kasus yang pernah terjadi di Parigi Moutong secara sosio-cultur ini adalah sebuah kemunduran peradaban kehidupan ditandai dengan cara berfikir patriarkis. Budaya patriarki ini memang mendorong relasi kuasa sebagai stratifikasi anatar perempuan dan laki-laki, baik relasi kuasa atas jabatan maupun jenis kelamin.
Kejadian ini tentunya sangat berdampak terhadap tumbuh kembang korban baik secara medis maupun dalam kehidupan socialnya. Kejadian ini bukan hanya menimbulkan trauma kepada korban akan tetapi keluarga, sahabat dan orang-orangtua yang memiliki anak perempuan. Maka hukuman yang paling berat adalah ganjaran yang setimpal bagi pelaku kekerasan seksual.
Maka melalui kesempatan ini ada beberapa rekomendasi yang kiranya penting dalam merekonstruksi sosio-cultur yang keliru, yaitu:
- Negara harus berlaku adil kepada korban dengan menghukum pelaku pelecehan dan kekerasan seksual sesuai konstitusi yang berlaku dengan seberat-beratnya, baik jeratan dalam undang-undang perlindungan anak maupun UU TPKS;
- Pemerintah harus memasukkan pendidikan gender baik di lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dari struktur tertinggi hingga struktur terendah, lembaga polri, DPR dan lain sebagainya agar mencegah terjadinya subordinat yang berujung pada pelecehan dan kekerasan seksual;
- Hal yang paling penting adalah pendalaman ilmu agama pada isntitusi pendidikan, sehingga generasi-generasi berikutnya sudah memiliki bekal yang cukup terkait pemahaman agama dan pengetahuan gender, sebab yakin dan percaya tidak ada satu agamapun yang membenarkan tindakan 11 orang predator seksual tersebut.
Maka, atas kejadian kekerasan seksual yang terjadi di Kab. Parigi Moutong kami mengecam tindakan yang dilakukan oleh 11 orang pelaku kekerasan seksual tersebut, tangkap dan adili para pelaku dengan seberat-beratnya, pecat oknum guru dan kepala desa yang terlibat, serta Polisi segera menangkap dan memecat secara tidak hormat yang diduga ada keterlibatan oknum brimob dalam kasus kejahatan seksual ini.***